AddThis

Share |

Kamis, 03 Juni 2010

Mutiara dari lumpur




(waktu itu saya liat teman saya laki-laki yang sama kerja di pabrik kayu itu juga. saya pikir dia berbanding terbalik dengan seorang perempuan belia, sesama pekerja juga, yang soleha dan pendiam. maka saya pengen tulis sajak ini dan membacakannya, tapi belom pernah terealisasikan)


sebenarnya ego tak bisa berkhotbah tentang kebahagiaan dan harapan kalau ego masih duduk di rumah menikmati acara televisi opera sabun. matikan sejenak.
id tak perlu berdiri tinggi-tinggi di atas neraca untuk memaksa yang lain datar di tanah sambil menunduk malu. kecilkan sebentar.
derajat apa yang diukur super-ego sehingga yang lain harus merasa kecil dan sepi?

ego kan yang perlu belajar dari lumpur mengenai kekotoran yang selalu melahirkan gagasan untuk menciptakan dan mengusahakan kebersihan. mereka orang berpunya. sudahkah ego lihat?
kalau id mesti tenggelam dalam lumpur, tenggelamlah. jangan pernah pakai mantel hujan atau helm masker.
kita satu?
super-ego tak kan temukan sesuatu yang indah itu sebelum pagi itu tiba. sebab malam ini super-ego masih merias diri, memoles-moles seperti mengglasur dan enggan keluar ke tanah lumpur di samping rumah. bagaimana ego bisa belajar memeluk yang lain kalau ego berdiri di atas menara dan yang lain duduk di depan pintu menara?

ujung menara bukan ukuran, tapi membuka pintu artinya merasakan penderitaan.
maka yang lain akan segera mendoakan id pada sang khalik mohon hujan yang basuh mata id dan minta matahari terangi sorot mata id. sebab dalam lumpur itu ada mutiara yang sangat berharga.
cepatlah.
bukankah super-ego harus cepat-cepat sebelum menjadi penghambat?

0 komentar:

 
Powered by Blogger